Vokasiana.com - Suara Inspirasi. Sistem zonasi dalam penerimaan murid baru diperkenalkan sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan pendidikan di Indonesia. Dengan membatasi penerimaan siswa berdasarkan wilayah tempat tinggal, pemerintah berharap semua anak mendapatkan kesempatan belajar yang sama tanpa harus berlomba-lomba masuk sekolah favorit yang selama ini identik dengan elitisme. Namun, benarkah sistem zonasi ini mampu menghapus jurang pemisah antara sekolah “elite” dan “marginal”? Atau justru sistem ini memperkuat ketimpangan yang ada?
Sistem zonasi dirancang agar anak-anak dari lingkungan sekitar dapat belajar di sekolah yang dekat dengan rumah mereka. Pada teori idealnya, ini tentu saja positif. Anak-anak tidak perlu menempuh perjalanan jauh dan orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk transportasi. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Di banyak wilayah, terutama di kota besar, sekolah-sekolah yang berada di zona perumahan kelas atas jauh lebih berkualitas—memiliki fasilitas lengkap, guru berpengalaman, dan lingkungan belajar yang kondusif. Sebaliknya, sekolah-sekolah di zona yang dianggap “marginal” masih kekurangan fasilitas, guru, dan sumber belajar yang memadai.
Akibatnya, siswa yang beruntung tinggal di zona elit otomatis mendapatkan pendidikan yang lebih baik, sementara siswa di zona marginal tetap terjebak dalam kondisi sekolah yang kurang memadai. Dengan kata lain, sistem zonasi justru memetakan pendidikan berdasarkan ketimpangan sosial-ekonomi yang sudah ada, bukan menghapusnya. Zonasi tanpa diikuti peningkatan kualitas sekolah di semua zona hanya mempertegas label “sekolah elite” dan “sekolah marginal”.
Selain itu, fenomena praktik pindah alamat atau “domisili palsu” pun semakin marak terjadi. Orang tua yang ingin anaknya masuk ke sekolah favorit di zona elit rela mencari cara agar alamat mereka masuk ke dalam wilayah tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem zonasi belum bisa menjamin keadilan secara menyeluruh. Praktik seperti ini justru menunjukkan bahwa zona pendidikan masih dianggap sebagai “hak istimewa” yang harus diperoleh dengan segala cara.
Pemerintah tentu menyadari tantangan ini. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kualitas sekolah di seluruh zona menjadi hal yang mutlak. Perbaikan sarana prasarana, peningkatan kompetensi guru, serta penyediaan sumber belajar yang memadai harus menjadi prioritas agar sistem zonasi benar-benar memberikan kesempatan yang sama bagi semua anak.
Namun, peningkatan kualitas sekolah marginal tidak boleh hanya sebatas wacana. Diperlukan pendanaan yang memadai dan pengawasan yang ketat agar pembangunan kualitas pendidikan berjalan konsisten dan berkelanjutan. Tanpa langkah konkret, zonasi hanya akan menjadi “kaca pembesar” bagi ketimpangan yang selama ini sudah ada.
Di sisi lain, masyarakat juga harus ikut berperan aktif mendorong perubahan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan yang berkualitas harus dibangun mulai dari keluarga dan lingkungan. Pemerataan pendidikan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab sosial bersama.
Sistem zonasi adalah langkah awal yang penting dalam memperjuangkan keadilan pendidikan. Namun, zonasi tanpa perbaikan kualitas di semua zona hanya akan memperkuat garis pemisah antara sekolah elite dan marginal. Jika ingin mewujudkan pendidikan yang benar-benar inklusif dan merata, semua pihak harus bersinergi melakukan reformasi yang nyata dan berkelanjutan.
Di tengah harapan besar tersebut, jangan sampai kita lupa bahwa pendidikan bukan hanya soal mendapatkan akses ke sekolah favorit, tetapi lebih dari itu: memberikan hak yang sama bagi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan bermutu, di mana pun mereka berada.
Posting Komentar untuk "Kritik Sosial Sistem Zonasi: Apakah Bisa Menghapus Sekolah ‘Elite’ dan ‘Marginal’?"