Ketika Kurikulum Merdeka Ketemu Deep Learning: Serius Tapi Nggak Usah Kereng

Vokasiana.com - Suara Inspirasi. Di banyak sekolah, Kurikulum Merdeka datang seperti tamu penting: disambut meriah, tetapi tidak semua orang benar-benar tahu harus berbicara apa padanya. Guru-guru diberi mandat untuk menghadirkan pembelajaran yang lebih mendalam, lebih manusiawi, lebih bermakna. Terdengar indah—seindah slogan di baliho sekolah. Namun saat masuk ke ruang kelas, guru berhadapan dengan kenyataan: waktu terbatas, administrasi menumpuk, dan siswa yang pikirannya sebagian masih tertinggal di gawai.

Di sinilah konsep pembelajaran mendalam mengambil panggung. Bukan “mendalam” seperti ceramah panjang yang membuat siswa terkantuk-kantuk, tetapi mendalam yang mengajak mereka berpikir, menanya, menantang, dan—yang paling sulit—mengaitkan ilmu dengan hidupnya. Kurikulum Merdeka menyebutnya pembelajaran bermakna. Psikologi pendidikan menyebutnya konstruktivisme. Dunia riset menamainya deep learning. Dan orang tua siswa? Mereka hanya ingin anaknya paham, bukan sekadar dapat nilai rapor yang elok.

Implementasinya tidak sesederhana mengganti metode ceramah dengan diskusi. Pembelajaran mendalam menuntut guru menjadi arsitek pengalaman belajar: merancang aktivitas yang membuat siswa menemukan sendiri makna dari apa yang dipelajari. Guru harus sanggup membuat murid bukan hanya menjawab “apa,” tetapi “mengapa” dan “bagaimana jika.” Tantangan terbesarnya bukan pada murid—tetapi pada ekosistem sekolah yang sudah lama terbiasa hidup dengan budaya hafalan.

Kurikulum Merdeka sesungguhnya memberi ruang sangat luas untuk ini. Proyek Profil Pelajar Pancasila, diferensiasi, hingga asesmen formatif adalah pintu gerbang menuju pembelajaran mendalam. Namun pintu ini tidak otomatis terbuka hanya karena sekolah sudah mengunggah dokumen kurikulum ke platform digital. Dibutuhkan kesiapan mental, pelatihan guru, dan keberanian sekolah untuk sedikit “berantakan” demi perubahan.

Ada satu hal menarik: ketika pembelajaran mendalam berhasil diterapkan, suasana kelas berubah drastis. Ruang kelas menjadi lebih gaduh—tetapi gaduh yang produktif. Murid lebih banyak bertanya daripada menghafal. Guru bukan lagi pusat informasi, tetapi fasilitator yang duduk di antara mereka, bukan di depan. Dan di akhir hari, pembelajaran tidak hanya menghasilkan nilai, tetapi pemahaman yang tinggal lebih lama di kepala siswa.

Kurikulum Merdeka dan pembelajaran mendalam adalah pasangan yang cocok. Yang satu memberi arah, yang lainnya memberi napas. Tinggal satu pertanyaan tersisa: sudahkah sekolah—dan kita sendiri—siap untuk benar-benar merdeka belajar?

Posting Komentar untuk "Ketika Kurikulum Merdeka Ketemu Deep Learning: Serius Tapi Nggak Usah Kereng"